MAKALAH STUDY HADITS
PENGERTIAN
HADITS DHOIF DAN PEMBAGIAN HADITS DHOIF SEBAB PUTUSNYA SANAD
Dosen pembimbing : Drs. H. Muhammad Anshori M. PdI
Oleh : 1. Siti Nur
Iffah
2. Nur Milla Azkiya
UNIVERSITAS KH. A. WAHAB HASBULLAH (UNWAHA) PENDIDIKAN
BAHASA ARAB (PBA) TAMBAK BERAS JOMBANG 2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hadits adalah perkataan nabi yang
diriwayatkan oleh orang seorang atau dua orang, lalu hanya mereka saja yang
mengetahuinya dan tidak menjadi pegangan atau amalan umum. Para ahli hadits
membagi hadits menjadi banyak bagian dengan istilah yang berbeda-beda. Namun,
semua itu tujuannya pada pokoknya kembali kepada tiga objek pembahasan, yaitu
dari segi matan, sanad, serta matan dan sanad-sanad secara bersama-sama. Dan
kebanyakan mereka mengklasifikasikan hadits secara keseluruhan menjadi tiga
kategori yaitu shahih, hasan, dan dhaif.
Dalam makalah ini saya akan membahas
lebih dalam dari salah satu kategori hadits diatas yaitu hadits dhaif. Jadi
untuk lebih jelasnya tentang hadits dhaif secara keseluruhan akan dibahas dalam
bab selanjutnya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian dari hadits dhaif?
2.
Sebutkan kriteria dari hadits dhaif tersebut?
3.
Jelaskan
macam-macam dari hadits dhaif dari segi
sebab putusnya sanad ?
4.
Bagaimana hukum periwayatan dari hadist dhoif ?
5.
Bagaimana pengamalan dari hadist
dhoif ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian dari hadist dhoif
2.
Untuk mengetahui kriteria hadist dhoif
3.
Untuk mengetahui macam-macam hadist dhoif dari segi sebab putusnya sanad
4.
Untuk mengetahui periwayatan hadist dhoif
5.
Untuk mengetahui pengamalan dari hadist dhoif
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
hadits dhaif
Kata dha’if menurut bahasa
berasal dari kata dhuifun yang berarti lemah lawan dari kata qawiy yang
berarti kuat. Sedangkan dhaif berarti hadits yang tidak memenuhi hadits
hasan. Hadits dhaif disebut juga hadits mardud (ditolak). Menurut istilah,
hadist dhoif :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعُ صِفَةَ
اْلحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطِ مِنْ شُرُوْطِه
adalah hadist yang tidak menghimpun sifat hadist hasan
sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.
Atau
definisi yang biasa diungkapakan mayoritas ulama’ :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَةَ
الصَّحِيْحِ وَاْلحَسَنِ
Adalah
hadist yang tidak menghimpun sifat
hadist shohih dan hasan.
Contoh hadits dhaif ialah hadits
yang berbunyi:
اِنَ
النَبِيَ صلى الله علىه وسلم تَوَ ضَأَ
وَمَسَحَ عَلىَ الْجَوْرَ بَيْنِ
Artinya: “Bahwasanya Nabi SAW
wudhu dan beliau mengudap kedua kaos kakinya”.
Hadits tersebut dikatakan dhaif
karena diriwayatkan dari Abu Qais al-Audi. Seorang perawi yang masih
dipersoalkan.[1][1]
Jadi,
hadist dhoif adalah hadist yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan
hadist hasan dan hadist shohih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasil),
para perawinya tidak adil dan tidak dhobit, terjadi keganjilan, baik sanad atau
matan (syadzdz), dan terjadinya cacat tersembunyi.
B.
Kriteria
hadits dhaif
Para ulama memberikan batasan bagi
hadits dhaif yaitu:
اَلْحَدِيْثُ
الضَعِيْفِ هُوَ الْحَدِيْثُ الَذِىْ لَمْ يُجْمَعْ صِفَا تُ الْحَدِ يْثِ
الصَحِيْحِ وَلاَ صَفَا تِ الْحَدِ يْثِ
Artinya: “Hadits dhaif adalah
hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat shahih, dan juga tidak menghimpun
sifat-sifat hadits hasan”.
Kriteria hadits dhaif yaitu hadits
yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits shahih dan hasan. Dengan
demikian, hadits dhaif itu bukan tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih,
juga tidak memenuhi persyaratan hadits-hadits hasan. Para hadits dhaif terdapat
hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut
bukan berasal dari Rasulullah SAW.
Kehati-hatian dari para ahli hadits
dalam menerima hadits sehingga mereka menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian
hadits itu sebagai alas an yang cukup untuk menolak hadits dan menghukuminya
sebagai hadits dhaif. Padahal tidak adanya petunjuk atas keaslian hadits itu
bukan suatu bukti yang pasti atas adanya kesalahan atau kedustaan dalam
periwayatan hadits, seperti kedhaifan hadits yang disebabkan rendahnya daya
hafal rawinya atau kesalahan yang dilakukan dalam meriwayatkan suatu hadits.
Padahal sebetulnya ia jujur dan dapat dipercaya. Hal ini tidak memastikan bahwa
rawi itu salah pula dalam meriwayatkan hadits yang dimaksud, bahkan mungkin
sekali ia benar. Akan tetapi, karena ada kekhawatiran yang cukup kuat terhadap
kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadits yang dimaksud, maka
mereka menetapkan untuk menolaknya.
Demikian pula kedhaifan suatu hadits
karena tidak bersambungnya sanad. Hadits yang demikian dihukumi dhaif karena
identitas rawi yang tidak tercantum itu tidak diketahui sehingga boleh jadi ia
adalah rawi yang dhaif. Seandainya ia rawi yang dhaif, maka boleh jadi ia
melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya. Oleh karena itu, para muhadditsin
menjadikan kemungkinan yang timbul dari suatu kemungkinan itu sebagai suatu
pertimbangan dan menganggapnya sebagai penghalang dapat diterimanya suatu
hadits. Hal ini merupakan puncak kehati-hatian yang kritis dan ilmiah.
C. Hukum Periwayatan Hadist Dhoif
Para ulama’ memperbolehkan
meriwayatkan hadist dhoif sekalipun tanpa menjelasakan kedhoifannya dengan dua
syarat, yaitu sebagai berikut.
a) Tidak
berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah.
b) Tidak
menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi
berkaitan masalah mauidhoh, targhib wa tarhib (hadist-hadist tentang ancaman
dan janji), kisah-kisah.
Dalam meriwayatkan hadist dhoif,
jika tanpa isnad atau sanad maka sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif
(mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi
cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh),
misalnya : رُوِيَ =
diriwayatkan; نُقِلَ = dipindahkan
; فِيْمَا يُرْوى = pada sesuatu
yang diriwayatkan; جَاءَ = datang.
Periwayatan hadist dhoif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyat).
Berbeda dalam meriwayatkan hadist shohih,
maka harus menggunakan bentuk kata aktif yang meyakinkan, misalnya: ....: قَالَ رَسُوْلُ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَmakruh
meriwayatkannya dengan menggunakan bentuk pasif seperti hadist dhoif. Kecual
jika hadist dhoif diriwayatkan dengan menyebutkan sanad, sebaliknya dengan
menggunakan benuk kata aktif dan nmeyakinkan ketika dikonsumsi oleh kalangan
ahli ilmu, dan untuk kalangan orang umum boleh dengan menggunakan bentuk pasif,
tidak sebagaimana tanpa isnad.
D. Pengamalan Hadist Dhoif
Para ulama’ berbeda pendapat dalam
pengamalan hadist dhoif. Perbedaan itu dibagi menjadi 3 pendapat, yakni :
a. Hadist
dhoif tidak dapat diamalkan secara mutlak, baik dalam keutamaan amal (fadhoil
al a’mal) atau dalam hukum sebagaimana yang diberitakan oleh Ibnu Sayyid An Nas
dari Yahya bin Ma’in.
b. Hadist
dhoif dapat diamalkan secara mutlak, baik dalam fadhoil a’mal atau dalam
masalah hukum (ahkam), sebagaimana pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad.
c. Hadist
dhoif dapat diamalkan dalam fadhoil al a’mal, mauidhoh, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang
menakutkan) jika memenuhi persyaratan yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al
Asqalani, yaitu :
1) Tidak
terlalu dhoif (bukan karena bohong, dianggap bohong , kesalahan yang fatal).
2) Tidak
bertentangan dengan dasar-dasar yang berlaku.
Maksunya hadist yang dhoif itu kalau
mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhoilul a’mal, harus didampingi dengan
hadist lainnya. Bahkan hadist lainnya itu harus shahih / hasan. Dan tidak boleh
hadist dhoif jadi pokok, tetapi dia harus berada dibawah nash yang sudah shahih
atau hasan.
3) Tidak
meyakini kebenarannya dari nabi, namun meyakini hanya untuk berhati-hati
(ihtiyati)
E. Kitab-kitab Hadist Dhoif
Diantara
kitab-kitab yang tersusun secara khusus dengan hadist dhoif, adalah sebagai berikut,
a. Al
Marasil, karya Abu Dawud
b. Al
‘Ilal, karya Ad-Daruquthni
c. Kitab-kitab
yang banyak mengemukakan para perawi yang dhoif adalah seperti Adh-Du’afa karya
Ibnu Hibban, Mizan Al I’tidal karya Adh Dhahabi.
F.
Pembagian
macam-macam hadits dhaif
Sebagaimana definisi hadist dhoif
diatas, hadist dhoif merupakan hadist yang tidak memenuhi beberapa persyaratan
hadist shahih, misalnya karena tidak bersambung sanad-nya, tidak adil, tidak
dapat diandalkan daya ingat atau hafalan para perawi dalam seluruh sanad (‘adam
‘adl wa dhabith ar-ruwah), atau karena adanya keganjilan baik dalam sanad atau
pada matan, dan atau karena adanya cacat-cacat yang tersembunyi, baik dalam
sanad maupun dalam matan.
Cacat hadis dhoif dapat disimpulkan
menjadi dua hal ; pertama, terkait dengan sanad dan kedua, terkait dengan
matan. Cacat yang terkait dengan sanad bisa jadi karena tidak tersambung
sanad-nya, atau seorang perawi tidak bertemu langsung dengan seorang guru
sebagai pembawa berita, ketidakadialan dan tidak dhobith, terjadi adanya
keganjilan (syadzdz) dan cacat (‘illat). Sedangkan cacat yang terkait dengan
matan adalah karena adanya keganjilan (syadzdz) dan cacat (‘illat) tersebut.
Beriku ini pembagian macam-macam cacat yang menjadi penyebab kedhoifan suatu
hadist :
1. DHOIF
SEBAB PUTUSNYA SANAD
a. Hadits mursal
Hadits mursal, menurut bahasa mursal
berasal dari kata أرسل يرسل إرسالا مرسل dengan makna مطلق berarti hadits yang terlepas atau
bebas tanpa ada ikatan, para ulama memberikan batasan hadits mursal adalah
hadits yang gugur rawinya diakhir sanad, yang dimaksud dengan rawi diakhir
sanad adalah rawi pada tingkatan sahabat. Jadi, hadits mursal adalah hadits
yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat nabi, sebagai rawi yang
seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ ص.م : بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُنَا فِقِيْنَ شُهُوْدُ الْعِشَاءِ
وَالْصُبْحِ لَاَ يْسْتَطِيْعُوْنَ.
Artinya:”Rasulullah bersabda:
“Antara kita dengan kaum munafik, ada batasan yaitu menghadiri jama’ah isya dan
subuh mereka tidak sanggup menghadirinya.” (HR. Malik).
Hadits tersebut diriwayatkan Imam
Malik dari Abdurrahman dai Haudalah, dari Said bin Mutsayyab. Siapa sahabat
nabi yang meriwayatkan hadits itu kepada Said bin Mutsayyab, tidaklah
disebutkan dalam sanad diatas.
Kebanyakan ulama memandang hadits
mursal sebagai hadits dhaif dan tidak diterima sebagai hujjah, tetapi sebagian
kecil ulama, termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hambal dapat
menerima hadits mursal menjadi hujjah bin rawinya adil.
Hadis mursal dibagi menjadi 3, yaitu
:
Ø 1.
Mursal Tabi’i
Mursal
Tabi’i sebagaimana keterangan diatas
Ø 2.
Mursal Shahabi
Yaitu periwayatan diantara sahaba
junior dari Nabi saw, padahal mereka tidak melihat dan tidak mendengar langsung
dari beliau. Hal ini terjadi karena usianya yang masih kecil seperti Ibnu
Abbas, Ibnu Zubair, dan lain-lain atau masuk islam belakangan seperti Abu
Hurairah yang terbanya meriwayatkan hadist atau karena absen di majlis Nabi
saw. mereka hanya menukil dari sahabat senior, tetapi mereka mengatakan Nabi
saw bersabda ... atau berbuat begini... dan seterusnya. Lebih tegasnya dapat dikatakan, mursal shahabi
adalah :
رِوَايَةُ
الصَّحَابِي مَا لَمْ يُدْرِكُهُ اَوْ يَحْضُرْهُ عَنِ النَّبِي صلى الله عليه
وسلّم
Periwayatan
sahabat pada seuatu yang ia tidak bertemu atau tidak menghadirinya dari Nabi
saw.
Ø 3.
Mursal khafi
Adalah
الِانْقِطَاعُ
فِيْ أَيَّ موظع مِنَ السَّنَدِ بَيْنَ رَا وِيَيْنِ مُتَعَاصِرَيْنِ لَمْ
يَلْتَقِيَا
Gugurny
perawi dimana saja tempat dari sanad diantara dua orang perawi yang semasa,
tetapi tidak bertemu.
Contoh,
hadist yamg diriwayatkan oleh Al-Awam bin Hausyab dari Abdulloh bin Abu Aufa
berkata :
كَانَ
النَّبِيُ إِذَا قَالَ بِلاَلُ : قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ نَهْضَ
وَكَبَّرَ
adalah
Nabi saw ketika Bilal membaca: Telah berdiri seperti iqomat, maka beliau berdiri
(bangun) dan takbir.
Al-Awam
bin Husyab tidak pernah bertemu dengan Abdulloh bin Abu Aufa padahal mereka
hidup semasa. Untuk mengetahui mursal khafi ini melalui keterangan sebagian
imam bahwa seorng perawi ini tidak pernah bertemu dengan pembawa berita itu
atau tidak pernah mendengar secara mutlak atau pengakuan perawi sendiri bahwa
ia tidak pernah bertemu atau mendengar dari pembawa berita. Atau dengan jalan
sanad lain yang menambah antara dua orang, yaitu antarperawi dan pemberitanya.
Berikut
ini buku-buku hadist mursal :
a. Al
Marasil, karya Abu Dawud
b. Al
Marasil, karya Ibnu Abu Hatim
c. Jami’
At Tafshil li Ahkam Al Marasil, karya Al Ala’i
d. At
Tafshil li Mubham Al Marasil, karya Al Khathib
- Hadits munqati’
Menurut bahasa, kata munqathi’ berasal
dari kata إنقطع
ينقطع إنقطاعا فهو منقطع hadits munqati berarti hadits yang
terputus. Para ulama memberi balasan munqati’ adalah hadits yang gugur satu
atau dua rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi diakhir
sanadnya adalah sahabat nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in,
jadi hadits munqati’ bukanlah rawi ditingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal
gugur seorang tabi’in.
Pendapat mayoritas muhadditsin :
سَقَطَ مِنْ إِسْنَادِهِ
رَاوٍ أَوْ أَكْثَرُ قَبْلَ الصَّحَابِيْ لاَ عَلَى التَّوَالِى مَا
Hadist yang digugurkan dari sanadnya
seorang perawi atau lebih sebelum sahabat tidak
berturut-turut.
Pendapat fuqoha’ ushuliyyin, dan
segolongan muhadditsin, diantaranya Al Khathib Al Baghdadi dan Ibnu Abdul Barr
:
هُوَ كُلَّ مَا لَمْ يَتَّصِلْ
إِصْنَادُهُ مِنْ اَيِّ وَجْهِ كَانَ إِنْقَطَاعُهُ
Segala hadist yang tidak bersambung
sanadnya dimana saja terputusnya.
Contoh hadits munqati:
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ ص.م اذَا دَخَلَ الْمَسْجِدِ قَالَ: بسْمِ اللهِ والسْلاَمُ عَلى رَسُوْلِ
الله اللَهُمَ اغْفِرْ لِى ذُ نُو بِى وَافْتَحْ لِى اَبْوَابَ رْ حْ لىِ ابْوَا
بَ رَحْمَتِكَ (رواة ابن ماجه)
Artinya: “Rasulullah SAW. Bila
masuk ke dalam mesjid, membaca : Dengan nama Allah, dan sejahtera atas
Rasulullah: Ya Allah, Ampunilah segala dosaku dan bukakanlah bagiku segala
pintu rahmatmu.” (HR. Ibnu Majah).
Cara mengetahui munqothi’ dan
kehujjahannya :
Inqitho’a pada sanad dapat diketahui
karena tidak adanya pertemuan antara perawi (rawi) dan orang yang menyampaikan
periwayatan (narwi ‘anhu) karena tidak hidup semasa atau karena tidak pernah
bertemu antara keduanya. Untuk menolong mengetahui hal tersebut adalah dengan
tahun kelahiran dan wafat mereka.
Hadist munqothi’ tergolong mardud
menurut kesepakatan para ulama’ karena tidak diketahui sifat-sifat perawi yang
digugurkan, dan bagaimana kejujuran dan kedhobitannya. Padahal dalam menilai
keontetikan suatu hadist sangat diperlukan informasi tentang sifat—sifat
perowi.
- Hadits mu’dhol
Menurut bahasa, berasal dari
kata أعضل يعضل إعضالا فهو معضل أي أعياهyangberarti payah da susah.
Hadits mu’dhol berarti hadits yang sulit
dipahami. Para ulama member batasan hadits mu’dhol adalah yang gugur dua orang
rawinya atau lebih secara beriringan dalam sanadnya. Adapun menurut istilah :
هُوَ مَا سَقَطَ مِنْ إِسْنَادِهِ
إِثْنَانِ فَاَكْثَرُ عَلَى التَّوَالِيْ
Yaitu hadist yang gugur dari
sanadnya dua orang lebih secara berturut-turut.
Contohnya: Hadits mu’dhol adalah
hadits Imam Malik, hak hamba dalam kitab al-Muwata’. Dalam kitab
tersebut, Imam Malik berkata:”Telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah SAW. Bersabda:
لِلْمُلُوْ
كِ اطَعَا مُهُ وَكِسْوَ تُهُ بِا لْمَعْرُوْفِ. (رواة ما لك)
Artinya: “Budak itu harus diberi
makanan dan pakaian secara baik.” (HR. Malik).
Imam Malik, dalam kitabnya itu,
tidak menyebut dua orang rawi yang beriringan antara dia dengan Abu Hurairah.
Dua orang rawi yang gugur itu diketahui melalui riwayat Imam Malik diluar kitab
al-Muwata’. Malik meriwayatkan hadits yang sama, yaitu ”Dari Muhammad
bin Ajlan, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah”. Dua rawi yang
secara beriringan adalah Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.
- Hadits muallaq
Hadits muallaq menurut bahasa dari
akar kata علق يعلق تعليقا فهو معلق , berarti hadits yang tergantung. Dari segi istilah, hadist
muallaq ialah :
ما حدف من اول السند راو آو اكثر على
التولي
Hadist yang dibuang pada awal sanad
seorang perawi atau lebih secara berturut-turut.
Jadi hadist muallaq adalah hadist
yang sanadnya bergantung karena dibuang dari awal sanad seorang perawi atau
lebih secara berturut-turut. Dengan demikian, hadist muallaq bias jadi yang
dibuang semua sanad dari awal sampai
akhir, kemudian berkata: Rasululloh saw
bersabda:… Atau semua dibuang semua sanad selain sahabat atau selain tabiín dan sahabat, atau
dibuang pemberitanya saja.
Contoh hadits muallaq:
Bukhari berkata, kata Malik,, dari
Zuhri, dari abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
لاَ تَفَا
ضَلُوْا بَيْنَ لَا نَبِيَاءِ. (رواة الجا رى)
Artinya: “Janganlah kamu lebihkan
sebagian Nabi dan sebagian yang lain”. (HR. Bukhari).[2][2]
- Hadist Mudallas
Kata
mudallas adalah bentuk isim mafúl dari kata :
دلس
يدلس تدليسا فهو مدلس و مدلس
Kata
at-tadlis secara bahasa diartikan menyimpan atau menyembunyikan cacat atau
barang dagangan dari pembelinya. Pembeli mengira bahwa barang dagangan itu
bagus, indah, dan menarik, tetapi setelah diteliti benar dan dibolak-balik,
ternyata terdapat cacat pada barang dagangan itu. Adapun menurut istilah,
hadist mudallas adalah sebagai berikut,
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Hadits dhaif adalah hadits yang
tidak memenuhi syarat/ kriteria hadits shahih atau hasan. Pada hadits dhaif
banyak dugaan bahwa hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah, disebabkan
ada kecacatan pada perawi , pada meriwayatkan hadits tersebut. Tetapi bukan
berarti hadits tersebut tidak benar. Karena para ulama ahli hadits tidak
sembarangan dalam menetapkan keshahihan suatu hadits. Inilah bukti ketelitian
para ulama ahli hadits dalam mengambil hadits tersebut dari para perawi.
B.
Saran
Dalam memahami makalah yang sangat
jauh kesempurnaan ini yang Alhamdulillah telah selesai saya susun,
mudah-mudahan bisa memberikan sedikit pengetahuan tentang hadits dhaif. Untuk
perbaikan makalah saya ini agar kiranya para pembacanya bisa memberikan koreksi
terhadap makalah yang sangat sedrhana ini.
DAFTAR PUSTAKA
·
Prof. Dr.
Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ulumul Hadits, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006.
·
Prof. Dr. Muhammad Ahmad, Drs. M.
Mudzakir, Ulumul Hadits, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.
Dr.
H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadis, Jakarta : Amzah , 2013
[1][1]
Prof. Dr. Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ulumul Hadits, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), cet. 1, h. 63-64.
[2][2]
Prof. Dr. Muhammad Ahmad, Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadits, (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2000), cet. II, h. 147-151.